Di era banjir informasi seperti sekarang, kita hidup di tengah lautan notifikasi, breaking news, dan opini yang datang dari segala arah. Buka ponsel, laptop, atau televisi, kita langsung disuguhi berita politik, perang, bencana alam, hingga gosip soal teknologi baru seperti kecerdasan buatan atau AI. Sekilas tampak seolah dunia makin kacau dan masa depan terlihat suram.
Saya sendiri sempat terjebak dalam pusaran ini. Saya menonton berita lebih sering dari biasanya, mengikuti kanal YouTube yang mengklaim “menyuarakan demokrasi” atau “mengungkap kebenaran.” Awalnya merasa tercerahkan, tetapi lama-kelamaan mood saya ikut turun. Ada rasa cemas, pesimis, bahkan putus asa. Saya pun bertanya pada diri sendiri: kenapa saya biarkan berita merusak kedamaian saya?
Tulisan ini adalah hasil pencarian jawaban saya. Semoga bermanfaat untuk Anda yang juga merasa lelah dengan berita yang tiada habisnya.
Kenapa Berita Bisa Membuat Kita Lelah?

Berita modern bukan sekadar informasi. Ia adalah bisnis klik. Algoritma media sosial “belajar” dari perilaku kita: semakin kita klik topik tertentu, semakin sering topik itu muncul di feed. Tujuan utamanya jelas—mendapatkan sebanyak mungkin tayangan dan pendapatan iklan.
Hasilnya? Konten yang disajikan makin sensasional, dramatis, dan negatif, karena itulah yang paling banyak memancing emosi dan klik. Kita pun terjebak dalam “amarah” (rage-bait) yang sulit diturunkan.
Baca Juga: Begini Cara Mengalahkan 99% Orang dengan AI dan Menghasilkan Uang
Kegunaan Berita Itu Sendiri Dipertanyakan
Saya teringat sebuah buku yang berjudul “Stop Reading the News” karya Rolf Dobelli. Ia berpendapat kita tidak perlu membaca atau menonton berita sama sekali.
Banyak orang menganggap ini sikap tidak bertanggung jawab. “Bagaimana kita tahu sedang ada wabah? atau Bagaimana kita peduli jika sedang terjadi bencana?” begitulah argumen yang sering muncul.
Dobelli menjawab: sebagian besar berita sama sekali tidak relevan dengan kehidupan kita sehari-hari. Kita tidak perlu tahu banjir di Bangladesh jika kita tinggal di desa pegunungan di Swiss untuk tetap menjalani hidup normal. Kalau mau berdonasi pun, kita bisa langsung mengakses situs organisasi kemanusiaan yang informasinya lebih jelas ketimbang potongan berita singkat.
Filosof Henry David Thoreau juga sudah menyadari hal ini sejak abad ke-19. Ia menyebut berita hanyalah “gosip,” berulang-ulang, tidak memperkaya wawasan mendalam. Kalau kita sudah membaca tentang dua perampokan, kita sudah paham pola perampokan lainnya. Kita tidak harus mengikuti setiap kasusnya satu per satu.
Berita Lebih Dekat ke Hiburan Ketimbang Pengetahuan

Neil Postman lewat bukunya “Amusing Ourselves to Death” menjelaskan bagaimana media, sejak era televisi, mengubah diskursus publik menjadi hiburan. Kita mungkin berpikir bahwa kita sedang “update”, padahal kita sedang dihibur.
Konten berita kini bersaing dengan TikTok, YouTube, dan Instagram. Untuk mempertahankan penonton, mereka harus membuat judul yang lebih polarizing, thumbnail lebih heboh, dan narasi lebih dramatis. Yang menang bukanlah informasi mendalam, tapi berita buruk yang bikin panik.
Arthur Schopenhauer bahkan menyindir jurnalis seperti “anjing kecil yang menggonggong begitu ada yang bergerak.” Lihat saja judul-judul berita populer di YouTube: hampir semuanya punya nuansa alarmis yang kuat.
Faktanya: Dunia Memang Tidak Sempurna—dan Tidak Akan Pernah Aman
Mengurangi berita bukan berarti menyangkal kenyataan. Dunia memang penuh konflik, ketidakadilan, korupsi, bencana, dan manusia yang berperilaku buruk. Sejak zaman dahulu, manusia sudah berperang, diskriminasi sudah ada, penyakit sudah ada. Bahkan kalau manusia sempurna sekalipun, bencana alam tetap terjadi.
Kesalahan terbesar kita adalah mengharapkan dunia yang bebas masalah, lalu kecewa setiap kali melihat bukti sebaliknya di layar televisi. Ketika ekspektasi dan kenyataan tidak cocok, muncullah ketidakpuasan.
Filosof Stoa seperti Seneca mengingatkan: kita tidak mengendalikan “Fortune”—keberuntungan atau nasib. Kita bahkan tidak sepenuhnya mengendalikan hidup pribadi kita, apalagi peristiwa global. Mengikat kondisi mental pada hal yang tidak kita kendalikan hanya menambah penderitaan. Solusinya ada di dalam diri, bukan di luar.
Baca Juga: Bagaimana Saya Mulai Menghasilkan Uang dari AI (Tanpa Gelar Sarjana atau Banyak Followers)
Langkah Praktis: Cara Mengurangi Kecemasan Karena Berita

Saya menemukan beberapa langkah praktis yang membantu:
1. Batasi Konsumsi Berita
Ini langkah paling sederhana dan langsung terasa dampaknya. Kurangi frekuensi menonton berita, berhenti scroll komentar, dan hindari debat di kolom komentar yang sering jadi echo chamber. Kalau perlu update penting, cukup langganan ringkasan mingguan dari media tepercaya.
2. Terima Realitas (Amor Fati)
Menerima kenyataan bukan berarti pasrah. Ini soal berhenti melawan hal yang tidak bisa kita ubah. Dengan mengucapkan “ya” pada takdir, kita berhenti membuang energi pada ketakutan akan masa depan. Kita fokus pada apa yang benar-benar ada di depan mata.
3. Ingat Segala Sesuatu Sementara (Impermanence)
Seberapa buruk pun situasi hari ini, tidak ada yang abadi. Pandemi COVID-19 dulu seolah krisis terbesar sepanjang hidup kita. Hari ini pembicaraannya mulai reda. Sejarah menunjukkan krisis datang dan pergi, rezim naik dan turun. Mengingat ketidak-kekalan ini menumbuhkan harapan rasional bahwa keadaan bisa berubah.
Baca Juga: Kenapa Kamu Belum Kaya (Juga) di Era AI Ini?
Intinya: Ubah Diri, Bukan Dunia
Viktor Frankl pernah menulis: “Ketika kita tidak lagi mampu mengubah situasi, kita ditantang untuk mengubah diri kita sendiri.” Kita bukan Buddha dalam semalam. Tapi dengan mengubah sikap, membatasi asupan berita, menerima takdir, dan mengingat ketidak-kekalan, kita bisa menemukan ketenangan batin bahkan di tengah berita buruk.
Kita tidak bisa menjamin masa depan, tetapi kita bisa menjamin bagaimana kita meresponsnya. Dunia mungkin tidak aman, tapi kita bisa menemukan ruang aman di dalam diri sendiri.
Kesimpulan
Tulisan ini hanyalah pemikiran pribadi penulis, hasil dari pengalaman dan pencarian pribadi menghadapi banjir berita. Bukan berarti kamu harus langsung berhenti baca berita atau ikut 100% dengan pandangan ini. Mungkin ada bagian yang cocok buatmu, mungkin ada yang tidak.
Yang terpenting, setelah membaca ini, kamu bisa berhenti sejenak, tarik napas, dan tanya ke diri sendiri:
“Selama ini aku ngikutin berita dengan cara yang sehat atau malah bikin aku stres?”
Kamu yang paling tahu jawabannya. Kamu yang paling tahu batasnya. Apa pun langkah yang kamu ambil setelah ini — mau terus update berita tapi lebih selektif, mau berhenti dulu beberapa hari, atau mau coba cara lain — semuanya kembali ke pilihan kamu sendiri. Semoga tulisan ini bisa jadi titik awal untuk melihat kebiasaanmu dengan sudut pandang baru.
Jangan lupa untuk ikuti perkembangan website kita dengan LIKE Facebook, FollowTwitter dan Instagram Pressburner.com. Jangan Lupa Juga Untuk Follow Instagram dan Subscribe Channel Youtube penulis.

Leave a Comment